Mei 14, 2009

Kebangkitan Generasi Salahuddin dan Kembalinya Al-Aqsa ke Pangkuan Islam


[*] NOTA - Judul asal buku: Hakadza Zhahara Jilu Shaluddin Wa Hakadza ‘Adat Al-Quds

Terjemahan Bahasa Melayu - 
Kebangkitan Generasi Salahuddin 
dan Kembalinya Al-Aqsa ke Pangkuan Islam.
Penerbitan bersama ABIM dan Thinker's Library. 2009.

Terjemahan bahasa Indonesia - 
Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib. 
Refleksi 50 Tahun Gerakan Dakwah Para Ulama 
untuk Membangkitkan Umat dan Merebut Palestina
Penerbit Kalam Aulia Mediatama. 2007.


“Kepada semua yang mendambakan kebangkitan Islam yang benar dan menghadapkan wajahnya ke arah langit dengan bersimpuh memohon kepada Allah Swt. agar dapat menyaksikannya.”

Kepada merekalah buku ini dipersembahkan. Jadi memang buku ini bukan sekadar hanya untuk dijadikan sebuah rekreasi intelektual. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ust. Asep Sobari, Lc, penerjemah buku ini (ke dalam Bahasa Indonesia), 

“Buku ini adalah buku serius, untuk orang-orang yang serius.”



'Apa yang menarik buku ini ialah mengenai testimonial kejayaan Salahuddin merampas Baitul Maqdis bermula dengan pengaruh Imam Al Ghazali, yang hidup sebelum itu lagi. 

Imam Al Ghazali, Hujjatul Islam, telah membina satu kerangka pemikiran yang harmoni, berpandukan epistemologi ilmu yang jernih dari agama, melahirkan gagasan Islah yang meresap pemikiran generasi selepas itu.

 

Hampir 2-3 generasi selepas Al Ghazali, kemudian disambut oleh Sheikh Qadir Al Jailani, yang menubuhkan madrasah penting, yang melahirkan ramai alumni Madrasah Al-Ghazali. Kemudian mereka ini yang menduduki kerusi penting dalam pentadbiran negara, mufti agama, panglima tentera dan guru agama. Sheikh Nuruddin Al Zanki, khalifah yang ada ketika itu terkenal dengan sikap zuhud dan alimnya, telah membuka jalan kepada kelahiran Salahuddin Al Ayubi yang memimpin tentera umat Islam yang akhirnya berjaya merampas Baitul Maqdis.


Ramai yang mungkin melihat sosok Salahuddin dan Al Ghazali secara keperibadiannya, dan tidak nampak kaitan antara dua tokoh ini. Buku Dr Majid adalah testimonial yang relevan untuk kita kaji dan ambil iktibar. Testimonial ini dapat menyingkirkan sindrom menunggu 'hero' yang akan menyelamatkan umat Islam, tatkala diserang pelbagai penjuru hari ini. Apabila cara kesinambungan legasi Al Ghazali membina generasi Salahuddin dapat diambil iktibar, sebenarnya kita boleh terlibat sekali dalam proses islah tersebut, tidak semestinya menunggu dengan hampa siapa yang menyelamatkan umat Islam.' 

 - Mohd Hilmi Ramli, PKPIM



*************

[1]







Ringkasan Buku Generasi Salahudin, oleh Abah Akmal

Dr. Majid Irsan Kaylani dalam buku beliau "Hakadha Zahara Jailu Salahu Al-Din Wa Hakadha 'Adat al-Quds" (2000, IIIT) yang diterjemahkan oleh ABIM dan Thinker's Library (2009) berjudul Kebangkitan Generasi Salahuddin dan Kembalinya Al-Aqsa ke Pangkuan Islam amat baik ditelusuri. 

Buku setebal 433 muka surat ini dibahagikan kepada enam bab utama. 

Bab Pertama mengangkat tema pola pemikiran umat Islam sebelum serangan tentera salib; 
Bab Kedua membincang pengaruh kegiatan intelektual dalam masyarakat Islam; 
Bab Tiga mengetengahkan awal gerakan Islah dalam dunia Islam; 
Bab Empat membincang sekitar penyebaran gerakan Islah di dunia Islam;
Bab Lima menilai kesan dan pengaruh gerakan Islah; 
dan Bab Enam merupakan rumusan-rumusan penting

Sekali imbas, tajuk buku ini tidak memberi gambaran struktur cakupan tema yang dibincang. Tema-tema yang diutarakan dalam setiap bab agar meluas. Mungkin tidak keterlaluan jika dikatakan bahawa buku ini merupakan suatu himpunan makalah yang cukup sarat. Saya yakin, jika buku ini sekadar bacaan santai, ia bukan suatu pilihan yang tepat namun jika dijadikan teks perbincangan dan kupasan, ia mempunyai nilai tersendiri. Kata-kata penghantar Dr. Thaha Jabir al-Ulwani amat baik untuk dicermati dalam buku ini. Saya tertarik tentang konsep Mahdi yang beliau bentangkan. Beliau mengajak umat Islam untuk tidak berserah nasib dan menanti Imam Mahdi untuk menyelamatkan umat ini. Menurut beliau dalam hadith RasuluLlah saw yang lain ada menyebut "Setiap kamu adalah pemimpin, dan akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya". Hadith ini memberi isyarat bahawa setiap diri-diri orang Islam punya potensi untuk memimpin, menyumbang dalam konteks dan ruang lingkup persekitaran masing-masing. Dr. Thaha menambah dalam sejarah umat ini telah lahir mujadid dan pembaharu gerak kerja umat. Dan ianya akan berterusan. 
Salahuddin Al-Ayubbi dan generasi yang seangkatannya yang mengembalikan Palestin ke tangan orang Islam bukan lahir secara tiba-tiba tetapi sistem, gerakan dan institusi ummah pada waktu itu telah menyumbang secara senergi, integral dan kolektif. Jadi buku ini bukan membicarakan tokoh berkenaan tetapi melihat peranan-peranan di sebalik tabir atau designernya. 



*************

[2]



Rekonstruksi Sejarah Kembalinya Al Quds Kepada Umat Islam, Studi Kasus Perubahan Sosial, oleh Budiman



Shalahudin dan kemenangan perang salib merupakan bagian sejarah yang penting untuk dikaji. Namun kajian-kajian terhadap sejarah kemenangan perang salib ini, menurut Majid Irsan Al Kailani, seringkali sekedar menonjolkan aspek figuritas atau heroisme militer untuk memahaminya. Pendekatan seperti ini memiliki kelemahan. Setidaknya model pendekatan seperti ini akan menjauhkan perhatian dari penyakit utama yang ada dalam tubuh umat yang menciptakan mentalitas layak terbelakang dan kalah (al qabiliyah li at takhalluf wal hazimah). Pemahaman yang menonjolkan aksi individu juga bisa menjauhkan umat dari peran yang harus mereka ambil, mengandalkan atau menunggu-nunggu munculnya figur pemimpin untuk menyelesaikan masalah.


Studi yang dilakukan oleh Majid Irsan Al Kailani dalam Hakadza Zhahara Jilu Shaluddin Wa Hakadza ‘Adat Al Quds memberikan kita perspektif bagaimana perubahan sosial (atau rekonstruksi sosial) selama lima puluh tahun (jarak antara jatuhnya Al Quds ke tangan tentara Salib Eropa hingga kembali ke tangan Umat Islam) memberikan andil besar dalam melahirkan generasi Shalahudin. Shalahudin adalah wakil utama generasi hasil pendidikan atau gerakan reformasi (ishlah) sebelumnya.



Filsafat Sejarah

Majid Irsan Al Kailani menyandarkan penelitiannya pada filsafat sejarah berikut. Filsafat sejarah ini, hemat saya, merupakan filsafat sejarah Bennabi-an (filsafat sejarah berdasarkan pandangan-pandangan yang awal sekali dikemukakan oleh Bennabi).

  1. Sebuah masyarakat terdiri dari tiga elemen utama; pemikiran (afkar), individu manusia (asykhas) dan benda atau materi (asy-ya’). Masyarakat mengalami kesehatan jika individu dan materi berporos pada pemikiran yang benar.
  2. Matarantai kepelakuan manusia bermula dari niat, pemikiran dan kemauan yang kemudian menjelma menjadi perilaku praktis. Sehingga munculnya fenomena sosial berawal dari muatan-muatan pemikiran yang kemudian melahirkan tujuan, disusul kemauan yang kemudian melahirkan perilaku praktis.
  3. Perubahan sosial memiliki pola. Pola perubahan itu bermula dari perubahan yang ada pada diri manusia disusul perubahan pada bidang sosial, ekonomi, politik, militer dst, Muatan yang ada pada diri manusia meliputi pemikiran, nilai, budaya, kebiasaan dan tradisi. Perubahan pada diri (baik menuju keadaan lebih baik dan buruk) untuk efektif berlaku secara kolektif. Sejarah perubahan diri ini dapat dilacak pada keterkaitan perubahan pendidikan (pemikiran) dan fenomena-fenomena sosial yang mengikutinya. Dalam praktek strategi perubahan yang dilakukan bergantung dengan unsur keikhlasan dan ketepatan (strategi).



Pola Pemikiran Umat Menjelang Serangan Kaum Salib

Berdasarkan filsafat sejarah di atas, Majid Irsan, merekonstruksi kondisi atau pola pemikiran yang berkembang pada masyarakat muslim menjelang serangan kaum Salib. Hal pertama yang menjadi catatannya adalah terjadinya perpecahan pemikiran islam dalam tubuh umat. Fenomena ini bisa dideskripsikan pada munculnya mazhabisme (komunalisme pemikiran atau pemikiran partisan) yang berselisih secara hebat kala itu, dalam aspek aqidah maupun cabang fiqh. Perselisihan mazhab anarkis ini berdampak pada pola pemikiran yang dibentuk atas umat, rusaknya tujuan pendidikan, serta perpecahan dan anarkisme sosial-politik. Selanjutnya pola pemikiran tasawuf dan filsafat yang menyimpang juga memberikan andil besar dalam memformat pola pemikiran umat ketika itu. Iklim pemikiran seperti ini kemudian menjadikan institusi-institusi pemikiran Islam mengalami kejumudan dan menyimpang dari misinya untuk mengarahkan umat.


Dampak Sosial Politik Pola Pemikiran Umat Menjelang Serangan Kaum Salib

Pola pemikiran di atas kemudian memberi dampak pada fenomena sosial umat. Rusaknya aspek ekonomi, karena tidak terformat secara tepat oleh pemikiran, dalam bentuk kemewahan sebagian kalangan konglomerat dan penguasa yang amat kontras dengan kemiskinan banyak rakyat, inflasi yang tinggi. Fenomena kelaparan menjadi gejala yang banyak terjadi kala itu. Anarkisme sosial karena perselisihan antar mazhab muncul dalam bentuk kekerasan-kekerasan yang muncul. Demikian pula aspek politik umat. Tidak banyak tokoh yang memiliki kelaikan untuk menjadi pemimpin umat kala itu. Perpecahan, perseteruan dan kudeta politik merupakan fenomena.

Dalam kondisi seperti ini serangan kaum Salib datang. Secara internal (pemikiran, sosial, politik, ekonomi dan militer) umat tidak memiliki kesiapan. Tidak ada pertolongan yang bisa diberikan untuk umat di sekitar Al Quds ketika itu.


Gerakan Ishlah (Reformasi)

Usaha untuk melakukan reformasi di tubuh umat pasca serangan tentara Salib berusaha dilakukan oleh beberapa tokoh melalui jalur politik, seperti yang dilakukan oleh Nizham Al Muluk. Tetapi efektifitasnya tidak berjalan.

Fase Pertama

Gerakan ishlah (reformasi) selanjutnya, yang dipelopori oleh Imam Ghazali, menggunakan metode al insihab wal ‘audah untuk melakukan rekonstruksi umat. Metodologi ini dilakukan melalui mundur dari lingkungan sosial politik yang penuh syubuhat, memfokuskan pada upaya membenahi diri untuk mengevaluasi dan memperbarui pemikiran, dan kemudian kembali (al a’udah) ke tengah masyarakat dan memulai proses ishlah.


Gerakan Imam Ghazali ini tidak menyentuh secara langsung jihad untuk membebaskan Al Quds, tetapi lebih ditekankan pada kritik diri untuk mengatasi kondisi kelayakan untuk kalah dari tubuh umat dengan melakukan rekonstruksi pemikiran sebagai langkah awalnya. Selanjutnya Imam Ghazali melakukan kritik sosial atas umat; mulai dari ulama-ulamanya, pemimpin-pemimpin sosial politiknya hingga masyarakat pada umumnya. Imam Ghazali juga mendirikan madrasah untuk mendidik kader-kader umat masa depan, dengan pola pemikiran yang baru.



Fase Kedua

Pada fase kedua ini pengaruh Imam Ghazali diteruskan oleh Syaikh Abdul Qadir Al Jilani dengan madrasah dan gerakan reformasinya. Aspek yang ditekankan sama seperti yang ditekankan oleh Imam Ghazali, dengan modifikasi strategi tertentu. Fase kedua reformasi ini persebaran madrasah islah menjadi kian masif dan distributif. Madrasah pusat (seperti madrasah Abdul Qadir Al Jilani) menjadi pusat pendidikan utama (kaderisasi), madrasah model ini tersebar di banyak kota-kota besar dunia Islam timur ketika itu. Sedangkan madrasah-madrasah yang terletak di daerah pedesaan berfungsi untuk membimbing umat.



Dampak Reformasi

Ketika Nurudin Zanki dan Shalahudin Al Ayyubi melakukan reformasi sosial politik ketika itu banyak alumni-alumni madrasah di atas yang mengisi banyak posisi penting. Para ulama (cendekiawan) bergabung dalam institusi politik dan militer. Masyarakat juga sudah memiliki kesiapan untuk menerima reformasi itu. Rekonstruksi sosial-ekonomi-politik kemudian menjadi mudah untuk dilakukan. Puncaknya adalah pada jihad militer untuk mengembalikan Al Quds ke pangkuan umat dengan keberhasilan yang spektakuler.


Catatan Rujukan

Menurut saya pemikiran filsafat sejarah yang mempengaruhi metodologi penulisan buku Dr. Majid Irsan Al Kailani ini bisa dilacak sampai ke Malik Bennabi [dan atau Jaudat Said] . Walaupun dalam daftar referensi di buku ini buku-buku Bennabi tidak disebutkan. Nama Bennabi muncul sekali ketika membahas gerakan reformasi Imam Ghazali ketika Dr. Kailani mengutip konsep Bennabi mengenai qabiliyah lil isti’mar (kelayakan untuk dijajah).

Edisi bahasa arab buku ini juga diterbitkan oleh IIIT, Virginia, USA. 1995. 


*************

[3]


Berkaitan buku ini, lagi:

Goresan Alif Kecil's review

GRUP JIL SALAHUDDIN AL-AYYUBI

Empayar Cinta [dr_w]

ABIM Selangor


Mei 10, 2009

Fiqh al-Hadharah: Satu renungan awal (Siri 1)

sumber


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, teman-teman yang dirahmati Allah dalam dunia yang serba fana ini.


Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam. Ya Allah, limpahkanlah kesejahteraan dan kedamaian kepada junjungan kami, Muhammad, pembawa dan penyampai khabar gembira (basya'irul khayrat) kepada kaum mukminin, sebagaimana firman Allah SWT: Dan berikanlah khabar gembira bagi orang-orang yang beriman (2:223). Dan bahawa Allah tidak mengabaikan pahala orang-orang beriman (3:171).
 


Saya mula-mula menyebut mengenai Fiqh al-Hadharah ini sewaktu menyampaikan ucapan dasar sebagai Presiden MISG-UK&Eire pada tahun 2001-2002. Kemudian teman-teman meminta saya mengembangkan idea ini tetapi tidak berpeluang kerana pulang dari UK saya terus diamanahkan sebagai YDP Wilayah Persekutuan. Kemudian Saudara Presiden Yusri Mohamad mempelawa saya sebagai Ketua Biro Pendidikan ABIM Pusat selain memangku jawatan Setiausaha Agung. Bagaimanapun Alhamdulillah, oleh kerana amanah saya sebagai pimpinan ABIM sudah dipenghujung maka saya berpeluang semula untuk berkongsi pengetahuan dan pengalaman mengembangkan idea Fiqh al-Hadharah sebagai satu projek mengemukakan peranan besar Islam dalam menangani Modeniti. InsyaAllah.


 
Sekitar akhir 1990an dan awal 2000an, terdapat sarjana yang telah membicarakan soal "post-Islamism", "post-political-Islam" yang merujuk kepada fenomena pasca-gerakan Islam atau pun pasca-aktivisma gerakan politik Islam. Perkara ini timbul kerana pengkaji "Islamism" atau "Islamic activism" mendapati semacam gerakan Islam telah kehilangan jika tidak kehabisan dinamika dan relevan dalam paradigma yang sedia ada. Dinamisme dan relevansi manhaj Sayyid Qutb, Abu al-'Ala al-Mawdudi malah Ayatullah Ruhullah Khomeini mula memperlihatkan ketidakupayaan dalam menghadapi cabaran zaman dan lingkungan. Paling jelas idea "Pembentukan Negara Islam dan Perlaksanaan Hukum Hudud" kini menjadi passe/outdated bagi aktivis Islam.
 



Diwaktu yang sama juga kita mendapati kritik terhadap manhaj gerakan Islam dan aktivisme gerakan Islam ini bukanlah satu perkara baru. Dahulu lagi Allahyarham Fazlur Rahman telah menyebut perkara ini, begitu juga Allahyarham Malik Bennabi. Malah di negara kita Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas juga seringkali memperkata persoalan ini dalam kuliah-kuliah beliau. Antara perkara pokok yang membawa kepada ketidakupayaan manhaj gerakan Islam atau aktivisma gerakan politik Islam ialah kurangnya perhatian yang diberikan terhadap dimensi tradisi keilmuan dan keruhanian yang menjadi teras kepada kekuatan peradaban Islam sejak zaman-zaman. Dalam bahasa yang agak "extreme" bahawa ianya seperti "ill-informed and naive political and social activism resulted in intellectual bankruptcy andspiritual impotency". 



 
Pada fahaman saya fenomena "paradigmatic exhaustion" yang berlaku kepada manhaj "fiqh al-harakah" bukanlah hal yang memeranjatkan jika kita melihat kepada asal-usul pemikiran manhaj "fiqh al-harakah" itu sendiri. Pengaruh Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad 'Abduh dan Rashid Rida (Semuga Allah mencucuri rahmat ke atas ruh-ruh mereka) jelas sekali membentuk orientasi aktivisma politik dan sosial gerakan Islam. Tetapi yang lebih utama lagi bahawa kesemua tokoh-tokoh ini dikenali sebagai tokoh-tokoh modenis Islam.Dalam erti kata yang lain pembentukan manhaj "fiqh al-harakah" terbina dari faham-faham modenis yang meskipun telah di"Islamisasikan"masih meninggalkan kesan modenism dalam pemikiran dan tindakan gerakan. 


 


Saya mengusulkan manhaj "fiqh al-hadharah" sebagai ganti kepada "fiqh al-harakah" melihatkan kepada kegagalan gerakan Islam dan aktivisme Islam untuk menggarap kekuatan tradisi ilmiah, ruhaniah dan adabiah Islam dalam modus operandi mereka. "Fiqh al-harakah" dalam banyak hal dipengaruhi oleh pemikiran modenis terutamanya dalam penolakannya terhadap tradisi ilmiah, ruhaniah dan adabiah Islam dan juga penumpuan yang berlebihan terhadap persoalan politik dan kuasa. Ini bagaimanapun memerlukan kita menghuraikan terlebih dahulu apakah itu modernitymodernism dan perkara-perkara yang berkaitan dengannya seperti secularism, postmodern dan seumpamanya.

 

 

Persoalannya ialah tanpa disedari bagaimana mungkin gerakan dan aktivisma Islam yang dipengaruhi, dicorakkan dan diwarnakan dengan faham modenism/modeniti boleh mengemukakan alternatif Islam dalam menangani kemelut kehidupan manusia semasa. Cabaran kepada gerakan dan aktivisma Islam ialah untuk mengeluarkan diri mereka dahulu dari penjara dan perangkap modenism/modeniti dan kemudian barulah mereka boleh menawarkan sumbangan Islam terhadap kehidupan moden masakini. Jika tidak kita akan terus-terusan bermain dalam permainan yang telah diatur oleh falsafah/kaedah/prinsip modenism/modeniti itu sendiri. 
 


InsyaAllah jika berkesempatan kita akan melihat persoalan modeniti/modenism ini dan hubungkaitnya dengan Islam diperbincangan akan datang.

 

Sekian wabillahi tawfiq wal hidayah wasamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


al-Faqir ilallah al-Ghani,

 

Dr. Amran Muhammad,

Setiausaha Agung,

Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM).

Fiqh al-Hadharah: Satu renungan awal (Siri 2)

sumber



Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, teman-teman yang dikasihi yang diberkati Allah hendaknya dalam kehidupan moden yang penuh tipudaya ini.


Segala Puji bagi Allah Tuhan Empunya Sekalian Alam, 
Ya Allah! Yang dengan keperkasaan kegagahanMu, dengan kepantasan kedatangan pertolonganMu, dengan kecemburuanMu terhadap pencerobohan kehormatanMu dan dengan perlindunganMu ke atas orang yang mendapat perlindungan dengan ayat-ayatMu;


Ya Allah, Limpahkan rahmat dan kesejahteraan keatas kekasihMu yang juga kekasih kami al-Mustafa, para anbiya' wal-mursalin, para malaikat al-muqarrabin, para hambaMu yang solehin dari kalangan awliya', syuhada' dan ulama' dan juga sekalian penduduk-penduduk langit dan bumi yang mengikuti jejak-langkah mereka itu sehingga ke hari kiamat.


 
Fiqh al-Hadharah sebagai satu kerangka besar kehidupan adalah lanjutan dari tradisi kesarjanaan Islam berhubungan dengan peranan dan kedudukan insan dalam melaksanakan amanah sebagai 'abdillah  dan khalifatullah fil'ardh. Al-Farabi mengungkapkannya dalam Madinah al-Fadhila, Ibn Khaldun pula dengan Ilm al-'Umran dan Umran Hadhari, Shah Waliyyullah al-Dahlawi menggagaskan model Irtifaqat ke arah masyarakat rabbaniyyah illahiyyah.

 

Literatur Nasihat al-Mulk dan Adab al-Din wal Dunya karangan para ulama kita banyak sekali mengupas dan mengulas persoalan tadbir-urus atau governance individu dan masyarakat. Malah Shaykh al-Akbar Muhyiddin Ibn 'Arabi mengarang al-Tadbirat al-Ilahiyyat fi al-Mulk al-Insan(Pentadbiran Ketuhanan dalam Kerajaan Kemanusiaan). Justeru saya menggangap Fiqh al-Hadharah ini sebagai satu usaha ilmiah/amaliah bagi membina satu kerangka governan diri dan negara berdasarkan tradisi pandangan (worldview) dan pengalaman (lifeworld) Islam.


 
Tetapi sebelum kita boleh mengungkapkan secara tuntas Fiqh al-Hadharah dari tradisi kita, wajar untuk kita mengenali danmenyedari konteks kehidupan semasa yang mana Fiqh al-Hadharah ini ingin dilaksanakan iaituKEHIDUPAN DAN DUNIA MODEN. Maka tidak dapat tidak kita mesti memahami apa itu MODENITI, MODENISME, MODENISASI, dan pemikiran MODEN. Ini kerana individu dan masyarakat berfikir dan bertindak berdasarkan latarbelakang konteks, paradigma-paradigma ilmu yang telah mereka lalui selama kehidupan mereka. Paradigma, kerangka konsep, tasawwur, pandangan alam dan kehidupan semasa kita mestilah dijelaskan terlebih dahulu sebelum kita ingin mengemukakan alternatif baru paradigma atau tasawwur tesebut. "Thinking out of the box" atau berfikir diluar tempurung mestilah diusahakan terlebih dahulu sebelum perubahan benar-benar boleh berlaku. 


 
Secara ringkasnya, Modeniti sebagai satu manifestasi kebangkitan semangat zaman dan lingkungan masyarakat yang kemudiannya mencetuskan ideologi modenisme bermula di Eropah sekitar abad ke 17. Modenisasi dianggap sebagai satu proses/usaha masyarakat Eropah membebaskan diri mereka dari belenggu tradisi dan autoriti khususnya gereja dan agama. Semangat zaman dan lingkungan modeniti cubamemutuskan diri mereka dengan tradisi dan autoriti ini dengan memisahkan era kehidupan kontemporari dari era kehidupan sebelum mereka yang dinamakan sebagai Medieval Era (Era Pertengahan) dan sebelum itu Ancient Era (Era Purba). Justeru Modern Era adalah satu proses "tajdid/islah" Eropah untuk meninggalkan Medieval Era dan Ancient Era  yang mereka anggap membebankan kehidupan semasa.


Slogan-slogan seperti The Age of DiscoveryThe Age of ReasonThe RenaissanceThe EnlightenmentThe Reformation semuanya merujuk kepada semangat modeniti. Slogan-slogan teoritikal ini dipropagandakan dari abad ke 17 yang kemudiannya diterjemahkan secara praktikal dalam Revolusi Perindustrian di Britain, Revolusi Politik di Amerika dan Perancis pada abad ke 18, dan pada abad ke 19 dan 20 pula modeniti telah disulam sepenuhnya ke dalam kehidupan sosial-ekonomi-politik, sains, teknologi dan inovasi, industri, budaya dan ketenteraan. Apa yang kita disogokkan oleh idea-idea modeniti seperti secularism, liberalism, developmentalism, urbanism, cosmopolitanism, positivism, globalism malah post-modernism (pasca-modenisme) itupun tidak lain dan tidak lari dari semangat modeniti, proses modenisasi dan ideologi modenisme.


 
Dari sejarah tercetusnya modeniti yang sebenarnya adalah penentangan masyarakat Eropah terhadap dogmatisme, kejumudan, kelesuan, bebanan silam beberapa hakikat dan sifat modeniti boleh kita kenalpasti:


1) Antrophocentric worldview and way of life: Sikap dan keyakinan bahawa keupayaan semasa manusia adalah paksi/kunci pembentukan kehidupan dan pandangan alam.

 
2) Rejection of tradition and traditional valuesIni sekaligus menafikan peranan tradisi dan autoriti dalam menentukan pandangan alam dan peraturan kehidupan.


3) Sacralization of society: Sebagai ganti kepada tradisi dan autoriti, masyarakat sendiri menjadi penentu kebenaran khususnya apa yang disebut sebagai suara majoriti.


4) Akibat dari mengkuduskan masyarakat, maka kehidupan pragmatik/praktikal sosial-ekonomi-politik menjadi tumpuan utama kehidupan mengatasi kepentingan penjernihan akal, pembersihan ruh, peningkatan diri yang menjadi fokus utama kehidupan pra-modeniti. 


5) Obsesi terhadap kehidupan lahiriah ini menjadikan modeniti sangat menekankan soal fakta, visuality dan visibility dalam menilai kebenaran justeru membentuk satu faham epistemologi tentang kebenaran/ilmu yang rasionalis (bergantung kepada akal-ratio), empiris (bergantung kepada panca-indera) dan materialis (bergantung kepada kebendaan zahiriah).


6) Dan akhirnya ontologi modeniti hanya meyakini perkara-perkara yang dianggapa objektif dan real pada kehidupan zahiriah, menolak metafizik apatah lagi perkara-perkara ghaybiat.



Kesimpulan setakat ini menunjukkan bahawa sebarang bentuk perubahan individu dan masyarakat mestilah dimulakan dengan pemahaman dan perubahan epistemologifaham ilmu dan kebenaran dan juga pemahaman dan perubahan ontologi, faham wujud dan kehidupan. 

 

Tanpa pemahaman dan perubahan epistemologi dan ontologi tidak mungkin sebarang perubahan besar dalam diri dan masyarakat boleh berlaku. Perkara sebenarnya telah lama diperkatakan oleh Malek Bennabi, Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan saya juga mendapati Prof. Muhammad Said Ramadhan al-Buti dalam buku beliau Manhaj al-Hadharah al-Insaniyyah fi al-Qur'an juga membahaskan soal ontologi, hakikat insan, kehidupan dan alam dan juga epistemologi, hakikat ma’rifah dalam mengemukakan pandangan beliau. 
 


InsyaAllah kita akan menyambung perbincangan ini bi iznillah.
Al-Dhaif ilallahi al-Qawiy Ibn Muhammad


Dr. Amran Muhammad,

Setiausaha Agung

Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM).

Fiqh al-Hadharah: Satu renungan awal (Siri 3)

sumber



Assalamu'alaikum teman-teman seperjuangan yang masih mengikuti wacana ini secara nyata dan mahupun maya.
Selawat dan Salam ke atas Junjungan Muhammad SAW Penghulu Segala Manusia, Para Anbiya', Para Awliya' Para Syuhada' dan Para Ulama'.


Ya Allah! Limpahkanlah rahmat ke atas penghulu kami, Muhammad, dengan salawat yang akan memenuhi perbendaharaan Allah dengan cahaya dan menjadi pelepasan (farajan), kegembiraan (farahan) dan keriangan (sururan) bagi kami dan juga kaum Mukminin.

 
Modeniti ternyata telah memberi dampak yang sungguh mendalam dalam jiwa sanubari dan akal budi umat Islam. Malah sejarah perkembangan umat Islam abad ke 19 dan 20 adalah sejarah pertembungan antara Islam dan modeniti dari sudut teori dan amali. Kesarjanaan tokoh-tokoh besar Islam abad ke 19 dan 20 bermula dari Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Redha, Muhammad Iqbal, Sayyid Ahmad Khan, Malek Bennabi sehingga ke Fazlur Rahman, Ismail Faruqi, Syed Naquib al-Attas, Syed Hossein Nasr adalah kesarjanaan pemikiran Islam vis-a-vis cabaran modeniti. 


Sarjana awal abad ke 19-20 seperti al-Afghani, Abduh dan Rasyid Redha sangat tersirna dengan pengaruh modeniti khususnya peranan akal rasional, rasionaliti, pemikiran saintifik, sains dan teknologi dalam pembentukan pandangan alam Islami. Malah mereka adalah tokoh-tokoh modenis Islam awal yang kemudiannya meninggalkan kesan langsung terhadap corak pemikiran Islam selepas dari itu. Tasawur Gerakan Islam khususnya Ikhwan al-Muslimin adalah salah-satu kesan langsung dari pemikiran al-Afghani, Abduh dan Rashid Redha dari sudut amaliyyah dan jamai'yyah. Sejarah awal as-Syahid Hassan al-Banna dan Ikhwan al-Muslimin jelas menunjukkan perhubungan yang rapat antara pemikiran ketiga-tiga tokoh ini dengan gerakan Islam. 

 
Perkara ini sangat perlu untuk diteliti sekiranya kita ingin mengenal pasti paradigma atau kerangka falsafah dan pemikiran gerakan Islam atauharakah Islamiyyah. Ini kemudiannya memberi kesan terhadap orientasi, modus-operandi atau corak pemikiran gerakan Islam. Modeniti seperti mana yang telah dihuraikan dahulu terbina atas dasar anti-tradisi atau penolakan mutlak terhadap tradisi dan warisan silam. Bukan itu sahaja modeniti berpegang kepada epistemologi rasional dan empirikal dan kepada ontologi materialis dan objektivis.


Selanjutnya modeniti melakukan entzauberung iaitu menyah kekudusan dari alam (deprivation of mystique)  dan entgotterung menyahkan Tuhan dari kehidupan (“disgodding” of nature). Sikap anti-Tuhan dan desakrilisasi kehidupan inilah yang menjadi semangat zaman / ziet-geistmodeniti. Akhirnya kehidupan moden adalah kehidupan sekular, peradaban moden adalah peradaban sekular.

 
Bagaimana modeniti menjangkit ke dalam pemikiran dan tindakan gerakan Islam moden abad ke 19-20 memerlukan perbincangan yang lebih terperinci kerana sekali imbas tidak mungkin gerakan Islam menjadi gerakan modenis.  Secara mudahnya respon terhadap modeniti di kalangan umat Islam boleh dibahagikan kepada 3.:-

(1). Menerima modeniti secara totok menolak agama dan menjadi sekular, modenis sekular seperti Kamal Atartuk. 

(2). Menerima modeniti secara epistemologi/ontologi tetapi masih mengekalkan peranan/kepentingan agama, modenis agama seperti al-Afghani, Abduh dan Rasyid Redha.
 
(3). Menolak modeniti dan biasanya digelar tradisionalis-konservatif.

 
Modenis sekular mudah difahami manakala tradisionalis-konservatif juga tidak sukar dikenalpasti. Tetapi modenis agama lebih mempersonakan disamping mengelirukan kerana akhirnya ia akan merosakkan sifat dan hakikat agama Islam itu sendiri. Beberapa perkara asasiah modenis agama yang seiring dengan mereka yang berfaham modenis dalam keadaannya yang umum termasuklah. 

(1) Sikap menolak tradisi dan warisan silam peradaban Islam sebagai menjadi beban dan punca kelemahan dan kemunduran umat Islam (anti-tradition);

(2) mengganggap tradisi keilmuan Islam seperti tradisi falsafah, kalam dan tasawuf sebagai tidak relevan sebaliknya kefahaman agama yang lebih 'rasional' dan 'saintifik' mestilah digunapakai (positivist epistemology); 

(3) banyak tradisi pemikiran dan amalan umat Islam telah bercampur-baur dengan unsur-unsur yang tidak Islamik sama ada dari unsur yunaniyyah, israiliyyah dan syiah, justeru proses 'penjernihan' mesti dilaksanakan (objectivist epistemology); 

(4) pergantungan kepada autoriti dalam pelbagai manifestasi seperti taqlid, mahzab, shaykh, tawassul, barakah dan karamah dianggap tidak benar dan sesat dalam ajaran Islam (materialist/objectivist ontology); dan 

(5) sebarang bentuk perubahan mestilah melalui perubahan sosial masyarakat, politik, kuasa dan undang-undang (sacrilization of society).

 
Secara tidak sedar, gerakan Islam banyak dipengaruhi oleh pemikiran modenis agama meskipun Islam tetap menjadi slogan utama perjuangannya. Sebagai contoh, sejarah gerakan Islam abad ke 19-20 adalah sejarah pertembungan politik gerakan Islam (baca: modenis agama) dengan pemerintah sekular nasionalis (baca: modenis sekular). 'The obsession with politics and the quest for power' menjadi raison d'ĂȘtre gerakan Islam. 


Justeru agenda for change dari sacrilization of society adalah perubahan sosial, masyarakat, politik, kuasa dan undang-undang i.e negara Islam/ daulah Islamiyyah. Sedangkan dalam tradisi dan warisan silam Islam, semua perubahan bermula dari dalam diri insanbukan di luar sana dan justeru itu para ulama kita sangat menumpukan Ilm al-Nafs sebagai ilmu utama bukan ilmu masyarakat. Perbahasan mereka tentang politik kenegaraan dimulakan dengan persoalan etika atau akhlak malah buku-buku akhlak mereka jauh lebih banyak dari buku-buku siasahScience of the soul mendahulu science of the state.

 
Manakala modeniti mengsakralkan masyarakat melalui aktivisme politik-sosial, tradisi Islam mengsakralkan indvidu insan melalui aktivisme intelektual-spiritual. Malah inilah yang menerbitkan konflik dan krisis sosial-politik kemanusiaan yang tidak berkesudahan akibataktivisme politik-sosial yang lupa tentang sifat dan hakikat diri insan sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Itulah sebabnya para ulama kita sangat konsisten pada mengingatkan konflik dan krisis luaran sosial-politik kemanusiaan itu tidak lain hanyalah sebagai manifestasi konflik dan krisis intelektual-spiritual dalaman insan semata-mata. Inilah yang mereka huraikan sebagai faham alam saghir dan alam kabir. Bahawa tipudaya paradigma modeniti dalam mengalihkan tumpuan insan dari sifat dan hakikat sebenar insaniah kepada slogan dan retorik "social change" adalah tidak lain dari satu escapism ataupun pengelakkan amanah atau taklif hakiki manusia untuk melakukan"individual change" yang tentu lebih sukar dan mencabar berbanding dengan "social change". 

 
Wallahu'alam, Ibn Muhammad.

Dr. Amran Muhammad,

Setiausaha Agung

Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM).




Bacaan tambahan: